Haidh merupakan rutinitas bulanan wanita, seseorang yang sudah baligh (dewasa) pasti akan mengalaminya. Meskipun sudah berusaha semaksimal mungkin agar darah haidh tidak sampai mengotori pakaian, namun tetap saja terkadang ada saja bercak darah yang tanpa disadari mengotori pakaian pemiliknya.
Darah yang sudah melekat dikain pakaian pada keadaan tertentu akan sulit dihilangkan meskipun sudah dicuci berulang-ulang. Masih ada sisa-sisa warna merah darah yang tertinggal dikain. Lalu apakah sisa-sisa warna darah ini menjadikan pakaian itu tidak boleh digunakan untuk shalat?
Dalam sebuah hadist, seorang sahabiyat khaulah binti yasar bertanya kepada rasulullah salallahu ‘alaihi wasalam tentang darah yang menempel pada pakaiannya,
يَا رَسُولَ اللَّهِ، فَإِنْ لَمْ يَذْهَبْ الدَّمُ؟ قَالَ: يَكْفِيك الْمَاءُ وَلَا يَضُرُّك أَثَرُهُ
Wahai rasulullah, bagaimana jika darahnya tidak hilang-hilang? Maka rasulullah berkata : “Cukuplah bagimu air (dicuci) dan tidak mengapa dengan bekasnya (warna darah). )HR. Tirmidzi)
Adapun bagaimana cara mencuci darah haidh, maka ini dijelaskan oleh rasulullah dalam hadist lain dari Asma’ binti abi bakr bahwa rasulullah salallahu ‘alaihi wasalam bersabda,
تَحُتُّهُ، ثُمَّ تَقْرُصُهُ بِالْمَاءِ، ثُمَّ تَنْضَحُهُ، ثُمَّ تُصَلِّي فِيهِ
Hendaknya engkau mengeriknya, kemudian digosok-gosok dengan air, baru kemudian dicuci sampai bersih. (HR Bukhari Muslim)
Dari kedua hadist diatas jelaslah bagaimana solusi yang diberikan rasulullah dalam mencuci darah haidh yang mengotori pakaian. Hendaklah dicuci dengan semaksimal mungkin sampai hilang bekas dan warna darahnya, namun jika sudah dicuci dengan baik namun bekas warna darah belum hilang sepenuhnya, maka tidak mengapa untuk shalat dengan pakaian tersebut.
Dari sini pula dapat kita lihat bagaimana mudahnya islam, islam tidak mau menyulitkan umatnya. Kita hanya diperintahkan untuk melakukan apa yang mampu untuk dilakukan, adapun yang diluar kemampuan kita, maka islam tidak menuntutnya dan memudahkannya.